Sosial

Allah Ta’ala menciptakan manusia di dunia ini dalam keadaan berpasangpasang,
ada lelaki ada wanita, ada yang kaya ada yang miskin, ada yang
pandai ada pula yang bodoh, ada yang sholeh dan ada pula yang jahat dan
demikianlah seterusnya.

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat akan kebesaran Allah.” (QS. Az Zariyat: 49)
Dan pada ayat lain Allah Ta’ala berfirman,

“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia
meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat,
untuk mengujimu tentang apa yang diberikanNya kepadamu. Sesungguhnya
Rabbmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS. Al An’am: 165)
Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa Allah Ta’ala telah menjadikan Nabi
Muhammad beserta umatnya sebagai penguasa bumi dengan cara
membinasakan umat-umat sebelum mereka dan menjadikan mereka sebagai
pengganti orang-orang sebelum mereka dalam memakmurkan bumi. Kemudian
Allah Ta’ala menyebutbkan bahwa Ia dengan sengaja membeda-bedakan
antara manusia dalam berbagai hal, sehingga sebagian orang memiliki
kelebihan dibanding orang lain dalam hal harta benda, dan yang lain memiliki
kelebihan dalam hal kekuatan badan, dan yang lain memiliki kelebihan dalam
ilmu. Kemudian Allah Ta’ala juga menjelaskan maksud dan tujuan-Nya
membeda-bedakan manusia dalam berbagai hal, tujuannya ialah untuk menguji
sebagian mereka dengan sebagian yang lain, apakah yang kaya mampu
menjalankan peranannya dengan kekayaannya, yaitu dengan menyantuni yang
miskin, dan yang berilmu menjalankan peranannya dengan mengajarkan
ilmunya, dan yang kuat perkasa menjalankan peranannya yaitu dengan
melindungi yang lemah. Dan sebaliknya, yang miskin, bodoh, dan yang lemah
apakah mampu untuk bersabar dan berterima kasih kepada yang telah berbuat
baik kepadanya. (Baca Tafsir Ibnu Jarir At Thobari 8/114 & Tafsir Ibnu Katsir
2/201).

Dan telah menjadi sunnatullah di alam semesta ini bahwa mereka semua saling
membutuhkan dan melengkapi. Orang kaya tidaklah akan dapat menikmati
kekayaannya bila tidak ada yang miskin, orang pandai tidak akan dapat
merasakan dan mendapat kemanfaatan dari kepandaiannya bila tidak ada yang
bodoh, dan yang kuat perkasa tidak akan mendapatkan kemanfaatan dari
kekuatannya bila tidak ada yang lemah, dan demikianlah seterusnya. Oleh
karena itu pada ayat lain Allah Ta’ala berfirman,

“Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan
dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang
lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan
sebahagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan.” (QS. Az Zukhruf: 32)
Dikarenakan seluruh lapisan masyarakat saling melengkapi, dan masingmasing
menjalankan peranannya, maka syari’at Islam menggariskan satu
prinsip indah agar kehidupan masyarakat dapat berjalan dengan baik dan
damai. Prinsip tersebut ialah prinsip ta’awun dalam kebaikan dan larangan
untuk ta’awun dalam kejelekan, sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala
berikut ini,

“Dan bertolong-menolonglah dalam kebajikan dan ketaqwaan, dan janganlah
bertolong-tolong dalam perbuatan dosa dan melampaui batas. Dan bertaqwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al
Maidah: 2)
Penerapan nyata dari apa yang telah dipaparkan di atas tentang tatanan
masyarakat Islam, dengan lebih jelas digambarkan dalam sabda Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wasallam berikut ini,
على كل مسلم صدقة. قيل: أرأيت إن لم يجد؟ قال: يعتمل بيديه فينفع نفسه ويتصدق .قال: قيل:
أرأيت إن لم يستطع؟ قال: يعين ذا الحاجة الملهوف. قال: قيل له: أرأيت إن لم يستطع؟ قال: يأمر
بالمعروف أو الخير. قال: أرأيت إن لم يفعل؟ قال: يمسك عن الشر، فإا صدقة

 “Wajib atas setiap orang muslim untuk bersedekah. Dikatakan kepada beliau,
‘Bagaimana bila ia tidak mampu?’ Beliau menjawab, ‘Ia bekerja dengan kedua
tangannya, sehingga ia menghasilkan kemanfaatan untuk dirinya sendiri dan
juga bersedekah.’ Dikatakan lagi kepadanya, ‘Bagaimana bila ia tidak mampu?’
Beliau menjawab, ‘Ia membantu orang yang benar-benar dalam kesusahan.’
Dikatakan lagi kepada beliau, ‘Bagaimana bila ia tidak mampu?’ Beliau
menjawab, ‘Ia memerintahkan dengan yang ma’ruf atau kebaikan.’ Penanya
kembali berkata, ‘Bagaimana bila ia tidak (mampu) melakukannya?’ Beliau
menjawab, ‘Ia menahan diri dari perbuatan buruk, maka sesungguhnya itu
adalah sedekah.’” (HR. Muslim)
Sebagaimana syari’at Al Qur’an juga mengarahkan agar sebagian masyarakat
yang memiliki kelebihan di atas sebagian yang lain dalam suatu hal, tidak
bertindak sesuka hatinya, meremehkan selainnya, sombong, angkuh, dan
congkak; sebab di atas mereka semua ada Dzat Yang Maha Kuasa, Maha
Kaya, Maha Pandai, Maha Perkasa, Maha Pedih siksa-Nya.
Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman tetang orang-orang yang memiliki
kelebihan ilmu dibanding yang lain,

 “Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki: dan diatas tiap-tiap orang
yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui.” (QS. Yusuf: 76)
Dan pada hadits berikut, Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan tentang
orang-orang yang memiliki kelebihan dalam hal kekuatan dan kekuasaan diatas
yang lainnya,
قال أبو مسعود البدري رضي الله عنه: كنت أضرب غلاما لي بالسوط، فسمعت صوتا من خلفي: اعلم
أبا مسعود! فلم أفهم الصوت من الغضب. قال: فلما دنا مني، إذا هو رسول الله الله صلى الله عليه و
سلم، فإذا هو يقول: اعلم أبا مسعود! اعلم أبا مسعود !قال: فألقيت السوط من يدي، فقال: (اعلم أبا
مسعود أن الله أقدر عليك منك على هذا الغلام قال: فقلت: لا أضرب مملوكا بعده أبدا
“Abu Mas’ud Al Badri pernah menuturkan: “Pada suatu hari aku sedang
memukul budakku dengan cambuk, kemudian aku mendengar suara dari arah
belakangku, “Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!” Aku tidak dapat memahami suara
tersebut dikarenakan hanyut oleh rasa amarahku. Ketika orang yang bersuara
itu mendekat dariku, ternyata ia adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam,
dan beliau bersabda, Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Ketahuilah, wahai Abu
Mas’ud!” (maka ) akupun segera mencampakkan cambukku dari tanganku.

Kemudian beliau bersabda, “Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud, bahwa Allah lebih
Kuasa atas dirimu dibanding dirimu atas budak tersebut” Lalu Abu Mas’ud
berkata, Aku tidak akan memukul seorang budak-pun setelah budak tersebut.”
(HR. Muslim)
Dan sebaliknya, syari’at Al Qur’an juga mengingatkan orang-orang yang miskin,
lemah, tidak berkedudukan, bila melihat orang-orang yang berkedudukan, kaya
raya, dan perkasa, agar tidak bersedihan, atau merasa terhinakan atau timbul
rasa hasad, iri atau dengki.

“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami
berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan di
dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Rabbmu adalah lebih
baik dan lebih kekal.” (QS. Thoha: 131)
Pada ayat ini Allah Ta’ala melarang Nabi-Nya shollallahu ‘alaihi wasallam dan
juga para pengikutnya bila dari sikap terkagum-kagum dan terpana dari
kelebihan orang lain dalam hal kekayaan dunia dan yang serupa, sebab
berbagai kekayaan dunia tersebut merupakan cobaan dari Allah yang
ditimpakah kepada mereka, apakah mereka mensyukurinya atau sebaliknya
malah mengkufurinya. Apalagi kekayaan tersebut bersifat semu dan sementara,
tidak akan kekal, dan kelak di hari kiamat pemiliknya harus mempertanggung
jawabkannya di hadapan Allah Ta’ala. Kemudian Allah Ta’ala mengingatkan
Nabi-Nya shollallahu ‘alaihi wasallam dan juga kaum mukminin bahwa rezeki
Allah Ta’ala yang telah dilimpahkan kepada mereka berupa keimanan, ilmu
yang bermanfaat, amal sholeh dan rezeki yang halal serta kenikmatan di akhirat
berupa surga dan isinya lebih baik dan lebih kekal. (Baca Tafsir Taisirul Karimir
Rahmaan Oleh Syeikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’dy 516-517).
Bila dua sikap yang telah dijabarkan pada dua ayat di atas dipahami dan
kemudian dihayati dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat, niscaya
masyarakat tersebut akan aman, damai, sentausa dan makmur.
Demikianlah sebagian dari konsep sosial yang diajarkan oleh syari’at Al Qur’an
kepada umatnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Website Syababul Huda Mahabbah Qolbu 2011