Perniagaan

<!--[if !mso]> st1\:*{behavior:url(#ieooui) } <![endif]-->
Perniagaan adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan umat manusia,
tidak ada manusia di dunia ini melainkan ia membutuhkan kepada hal ini.
Sebab setiap orang tidak mungkin untuk memenuhi kebutuhan dengan sendiri,
ia pasti membutuhkan kepada bantuan orang lain, baik melalui uluran tangan
dan bantuan atau dengan cara imbal balik melalui hubungan perniagaan. Oleh
karena itu syari’at Al Qur’an tidak melalaikan aspek ini, sehingga kita dapatkan
berbagai ayat dan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam yang menjelaskan
dan mengatur perniagaan umat Islam.
Di antara sekian banyak ayat dan hadits yang membuktikan bahwa Islam telah
memiliki metode aturan yang indah lagi baku dalam perniagaan ialah firman
Allah Ta’ala berikut,

 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” (QS. An Nisa’: 29)
Pada ayat ini, Allah mengharamkan atas umat manusia untuk mengambil atau
memakan harta sesama mereka melalui perniagaan bila tidak di dasari oleh
rasa suka sama suka, rela sama rela. Oleh karena itu diharamkan dalam Islam
jual beli yang di dasari karena rasa sungkan atau rasa malu atau rasa takut,
sebagaimana dijelaskan oleh ulama’ ahli fiqih, sebagai contohnya silahkan baca
kitab As Syarhul Mumti’ 8/121-122 oleh Syeikh Muhammad bin Sholeh Al
Utsaimin.
Diantara wujud indahnya syari’at Al Qur’an dalam perniagaan ialah apa yang
digambarkan dalam firman Allah Ta’ala berikut ini,

“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai
dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu,
lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 280)
Dalam perniagaan terkadang kala kita merasa perlu untuk berhutang dengan
ketentuan wajib membayar dalam tempo yang disepakati. Akan tetapi tidak
setiap kali orang yang berhutang mampu melunasi piutangnya pada tempo
yang telah disepakati dikarenakan satu atau lain hal. Bila kita menghadapi
keadaan yang seperti, syari’at Al Qur’an menganjurkan bahkan kadang kala

mewajibkan atas orang yang memberi piutang untuk menunda tagihannya
hingga waktu kita mampu melunasinya, tanpa harus menambah jumlah tagihan
(bunga), sebagaimana yang biasa terjadi di masyarakat jahiliyyah dan juga
sebagaimana yang terjadi pada sistem perokonomian jahiliyah yang dianaut
oleh kebanyakan masyarakat pada zaman ini.
Perbuatan menunda tagihan bila yang berhutang dalam keadaan kesusahan
atau tidak mampu, bukan hanya sebagai etika perniagaan semata, akan tetapi
merupakan salah satu amal ketaatan dan amal sholeh yang dengannya
pelakunya akan mendapatkan ganjaran dan pahala dari Allah Ta’ala, baik di
dunia ataupun di akhirat. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
رحم الله رجلا سمحا إذا باع وإذا اشترى وإذا اقتضى
“Semoga Allah senantiasa merahmati seseorang yang senantiasa berbuat
mudah ketika ia menjual, ketika membeli dan ketika menagih.” (HR. Bukhari)
Dan pada hadits lainnya, beliau menyebutkan salah satu bentu balasan Allah
kepada orang yang menunda tagihan dari orang yang kesusahan,
عن حذيفة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: أتى الله بعبد من عباده آتاه الله
مالا، فقال له: ماذا عملت في الدنيا؟ قال: (ولا يكتمون الله حديثا) قال: يا رب آتيتني مالك، فكنت
أبايع الناس، وكان من خلقي الجواز، فكنت أتيسر على الموسر وأنظر المعسر، فقال الله: أنا أحق بذا
منك، تجاوزوا عن عبدي
“Sahabat Huzaifah rodhiallahu ‘anhu menuturkan, Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “(Pada hari kiamat kelak) Allah mendatangkan salah
seorang hamba-Nya yang pernah Ia beri harta kekayaan, kemudian Allah
bertanya kepadanya, Apa yang engkau lakukan ketika di dunia? (Dan mereka
tidak dapat menyembunyikan dari Allah suatu kejadian)1 Iapun menjawab,
Wahai Tuhanku, Engkau telah mengaruniakan kepadaku harta kekayaan, dan
aku berjual-beli dengan orang lain, dan kebiasaanku (akhlakku) adalah
senantiasa memudahkan, aku meringankan (tagihan) dari orang yang mampu
dan menunda (tagihan dari) orang yang tidak mampu. Kemudian Allah
berfirman: Aku lebih berhak untuk melakukan ini daripada engkau,
mudahkanlah hamba-Ku ini.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dari dua hadits ini, kita mendapatkan suatu pelajaran berharga, yaitu walaupun
perniagaan bertujuan untuk mengais rezeki dan mengumpulkan keuntungan
materi, akan tetapi perniagaan juga dapat menjadi ajang untuk mengais dan
1 Surat An Nisa 42


mengumpulkan pahala danmenghapuskan dosa, sebagaimana yang dikisahkan
pada hadits kedua di atas.
Diantara prinsip perniagaan yang diajarkan oleh syari’at Al Qur’an ialah
senantiasa berlaku jujur ketika berniaga, sampai-sampai Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam pernah bersabda,
يا معشر التجار! فاستجابوا لرسول الله صلى الله عليه و سلم ورفعوا أعناقهم وأبصارهم إليه، فقال: (إن
التجار يبعثون يوم القيامة فجارا، إلا من اتقى الله وبر وصدق
“Wahai para pedagang! Maka mereka memperhatikan seruan Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wasallamdan mereka menengadahkan leher dan pandangan
mereka kepada beliau. Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya para pedagang
akan dibangkitkan kelak pada hari kiamat sebagai orang-orang fajir (jahat)
kecuali pedagang yang bertaqwa kepada Allah, berbuat baik dan berlaku jujur.”
(HR. At Tirmizi, Ibnu Hibban, Al Hakim dan dishahihkan oleh Al Albani)
Sebagai salah satu contoh nyata dari perilaku pedagang yang tidak jujur, ialah
apa yang dikisahkan pada hadits berikut,
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم: (مر على صبرة طعام فأدخل يده فيها،
فنالت أصابعه بللا، فقال: ما هذا يا صاحب الطعام؟ قال: أصابته السماء يا رسول الله! قال: (أفلا
جعلته فوق الطعام كي يراه الناس، من غش فليس مني (رواه مسلم
“Dari sahabat Abu Hurairah rodhiallahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wasallam pada suatu saat melewati seonggokan bahan
makanan, kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam bahan makanan
tersbeut, lalu jari-jemari beliau merasakan sesuatu yang basah, maka beliau
bertanya, “Apakah ini wahai pemilik bahan makanan?” Ia menjawab, Terkena
hujan, ya Rasulullah! Beliau bersabda, Mengapa engkau tidak meletakkannya
di bagian atas, agar dapat diketahui oleh orang, barang siapa yang
mengelabuhi maka bukan dari golonganku.” (HR. Muslim)
Diantara perwujudan dari keindahan syari’at Al Qur’an ialah diharamkannya
memperjual-belikan barang-barang yang diharamkan dalam syari’at atau ikut
andil dalam memperjual-belikannya.. Sebab setiap barang haram, pastilah
mendatangkan dampak buruk dan merugikan, baik pemiliknya atau masyarakat
umum. Ini merupakan salah satu metode syari’at Al Qur’an dalam menjaga
kesucian harta hasil perniagaan, dan menjaga kesucian masyarakat dari
barang-barang haram dan menjaga ketentraman mereka. Oleh karena itu
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إن الله إذا حرم شيئا حرم ثمنه
“Sesungguhnya Allah bila telah mengharamkan sesuatu, pasti Ia
mengharamkan pula hasil penjualannya.” (HR. Imam Ahmad, Al Bukhari dalam
kitab At Tarikh Al Kabir, Abu Dawud, Ibnu Hibban, At Thabrani, dan Al Baihaqi
dari sahabat Ibnu Abbas rodhiallahu ‘anhu. Dan hadits ini dishahihkan oleh Ibnu
Hibban dan Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zaadul Ma’ad 5/746)
Sebagai salah satu contohnya perniagaan khamer, diharamkan, bahkan
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam telah melaknati setiap orang yang
memiliki andil dalam perniagaan ini,
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم في الخمر عشرة: عاصرها
ومعتصرها وشارا وحاملها والمحمولة إليه وساقيها وبائعها وآكل ثمنها والمشتري لها والمشتراة له
“Dari sahabat Anas bin Malik rodhiallahu ‘anhu Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wasallam melaknati berkaitan dengan khomer sepuluh orang: Pemerasnya,
orang yang meminta untuk diperaskannya, peminumnya, pembawanya
(distributornya), orang yang dibawakan kepadanya, penuangnya (pelayan yang
mensajikannya), penjualnya, pemakan hasil jualannya, pembelinya, dan orang
yang dibelikan untuknya.” (HR. At Tirmizi dan Ibnu Majah dan dishahihkan oleh
Al Albani)

0 komentar:

Posting Komentar

Website Syababul Huda Mahabbah Qolbu 2011