"Harry, open the door!"
"Harry, can you please open the door!"
Dua ungkapan dengan maksud yang sama, tetapi menghasilkan kesan yang berbeda.
Semasa saya kecil, Sesame Street adalah salah sebuah rancangan televisi yang amat saya minati. Salah satu episode yang masih segar di ingatan saya ialah "The Magic Word".
"The Magic Word" bertujuan mengajar anak-anak supaya menggunakan perkataan-perkataan yang sopan terutamanya apabila meminta pertolongan. Perkataan please, kindly dan yang seumpama dengannya adalah "The Magic Word" yang dimaksudkan.
AKAL DAN HATI
Saya sentiasa berhati-hati agar jangan perkataan saya tidak menyinggung siapapun. Maka saya juga mengharapkan yang sama dari orang lain. Ia adalah fitrah manusia. Allah swt menciptakan manusia dengan akal dan hati, yang saling berbeda tabiat dalam memberikan reaksi kepada perkataan.
Akal memproses logik. Hati memproses emosi.
Akal dan logik menghasilkan tau.
Hati dan emosi mencetuskan mau.
Apabila kita meminta sesuatu dari orang lain dengan menyebut "Ali, buka pintu tu", ia adalah arahan kepada akal. Apabila akal memahami arahan tersebut, ia akan memberikan kefahaman tentang reaksi dan tindakan yang sepatutnya diambil terhadap arahan itu.
Tetapi arahan yang hanya mempedulikan akal, walaupun boleh difahami, ia mungkin tidak mencetus mau. Arahan itu tidak mengambil kira soal hati. Sedangkan kemauan datang dari hati.
Bagaimana kalau ayat yang sama diungkap dengan cara yang lebih sopan, seperti "Ali, tolong bukakan pintu tu. Terima kasih!"
Bagaimanakah perasaan dan kesediaan kita untuk bekerjasama dengan permintaan yang sedemikian rupa, berbanding arahan pertama..?
Saya yakin, kita lebih bersungguh dan berkemauan untuk memenuhi permintaan itu karena perkataan "buka pintu" memberitahu akal, manakala perkataan "tolong" dan "terima kasih" menggerakkan hati.
Tidak bolehkah peraturan semudah ini kita amalkan dalam hidup..?
LUQMAN DAN BAHASA KASIH SAYANGNYA
Lihat saja bagaimana Luqman menasihati anaknya. Beliau mulai ungkapan nasehat itu dengan lafaz "Ya Bunayya", yang boleh dimaksudkan sebagai "wahai anakku sayang". Ia adalah lafaz akal dan hati. Luqman tidak bersikap angkuh terhadap anaknya atas status dirinya sebagai bapa. Malah kuasa kasih sayang dan bahasa yang mengungkapkannya, menjadikan nasihat itu lebih berkesan dan penuh hikmah.
Manusia tidak bertindak berdasarkan apa yang dia tahu (akal), tetapi manusia bertindak berdasarkan apa yang dia mahu (hati). Jangan lupa yang itu. Jangan hanya mengeluarkan arahan, tetapi manfaatkan fitrah manusia yang ada perasaan.
BAHASA TERHAKIS
Saya semakin merasakan betapa generasi hari ini semakin tidak mempedulikan bahasa. Tidak pandai berbahasa. Tidak bijak menutur kata. Saya tidaklah mengharapkan bahasa bangsawan atau sastra. Tetapi cukup dengan bahasa "The Magic Word" yang sudah begitu sebati dengan adat resam dan budaya kita.
Lihat sahaja pada pesan-pesan di shoutbox dan komen. Saya tidak bermaksud mau memperolok siapapun, tetapi saya tidak enak membaca tulisan yang tidak manusiawi. Tidak cerdik berkata-kata. Apakah karena generasi muda hari ini semakin banyak berhubung di alam virtual, maka mereka menjadi tuli terhadap nilai-nilai kemanusiaan pada bahasa dan hubungan..?
Sengaja saya cetuskan Sesama Street sebagai muqaddimah kisah ini karena saya ingin menunjukkan kepada pembaca betapa masyarakat Barat, masih ramai yang particular dan mengambil berat tentang hal ini. Mereka mengajar anak-anak mereka berbudi bahasa.
Bagaimana dengan kita yang Muslim ini? Islam yang mengajar kita bahwa muka dan bahasa yang manis itu adalah suatu kebajikan. Bagaimana dengan Melayu yang suka dikenali sebagai bangsa yang berbudi bahasa..?
Sudikah sahabat-sahabatku memikirkannya..?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar