Entah sudah berapa kali aku buat perhitungan dengan mu ?.. tapi kau tak jera juga mengajak ku , mempengaruhi ku bahkan saat yang terakhir kau membuat aku terjebak dalam kondisi sulit sehinga aku harus mengikuti mu …” . Aku terus memperhatikan mu , mengamati untuk mencari tahu apa yang kau cari. Kali ini aku harus menang dari mu , wahai nafsu …
Kali ini aku buat pengadilan untuk mu. Kali ini akan ku buat kau terpenjara seumur hidup..
Nafsu terdiam seakan menunggu daftar kesalahan yang akan aku tumpahkan kepadanya.
Kesalahan mu sudah fatal …
kau membuat rasa serakah yang menyebabkan banyak jiwa jiwa yang tak bersalah lapar dan mati. kau membuat rasa marah yang menyebabkan banyak jiwa jiwa terbunuh karena mu. kau membuat rasa benci yang menyebabkan kesenjangan yang semakin menganga. Kau membuat rasa senang hingga banyak jiwa lupa akan tugas sucinya. kau membuat jiwa jiwa menjadi hamba mu yang tak berdaya.
Aku vonis kau bersalah !!
” Aku tidak terima Vonis itu “, Nafsu membantah vonis yang aku berikan.Aku coba tenang menunggu argumen apa yang akan Ia berikan. “Apakah kau lupa … bahwa aku pun yang mendorong mu memberikan keinginan hingga saat ini kau menjadi sukses… Apa aku salah ??? … ” Argumen nafsu memaksa aku untuk mengingat ingat peristiwa dahulu kala aku masih pesimis dengan diriku sendiri.
” Aku jadi bingung apakah Ia sahabat atau musuh ku”. Aku akui dunia tak akan indah tanpa Ia yang memberikan rasa.
Nafsu tertunduk dihadapaku dan berkata :
“Apakah kau sadar … “
” Aku pun juga tersiksa jika aku disalah gunakan “
” Aku pun tidak ingin dijadikan kambing hitam atas dosa-dosa mereka”
” Ketahuilah tuan ku , aku pun sesungguhnya lemah dan tak berdaya .
“Baiklah aku akan berterus terang kepada tuanku , berhati-hatilah kepada sahabat terdekat mu karena dia lah yang memuluskan jalan – jalan dalam melakukan semua kesalahan-kesalahan itu . Dialah yang yang kemudian memegang kendali” . Tanpa Ia Aku pun tak akan bisa mendorongmu , memaksa mu seperti yang kau tuduhkan kepada ku.”
“Dia adalah Akal”.
“Kalau tuanku dapat mengendalikan akal, berarti dapat mengendalikan aku juga”.
Akhirnya pengadilan antara Aku dengan Nafsu tak ubahnya antara Aku dengan ” aku”.
Masing-masing dari diri kita memiliki ” kehendak dan peran “ dalam kehidupan untuk menjadi manusia yang hebat dan penuh keagungan. Karena manusia diciptakan dengan potensi keistimewaan memiliki kecerdasan, bakat, ketrampilan dan hati nurani, yang dapat membawa manusia pada keberhasilan dan keagungan. Namun manusia juga dilengkapi dengan nafsu atau ego pribadi. Yaitu, nafsu pada kehidupan dunia. Oleh karena itu, untuk memenuhi keinginan ego dan nafsunya pribadinya, sesungguhnya Tuhan telah menyediakan aturan “rules” atau ketentuan-ketentuan melalui Qalam-Nya yang sudah terhampar memenuhi Jagad Raya ini. Ketentuan inilah yang harus diteladani, ditaati oleh manusia sebagaimana yang kita lihat dan baca di Alam Semesta ini.
Kebanyakan manusia sadar atau tidak sadar seringkali terjebak memperturutkan ” nafsu dan ego pribadi “ untuk dunia semata, dengan mengabaikan “rules” yang telah dicontohkan oleh Alam. Mereka sibuk memenuhi keinginan memiliki kursi jabatan, pangkat, predikat atau kedudukan yang tinggi, dan lain sebagainya. Semua yang diinginkannya berusaha untuk dia dapatkan, bahkan terkadang tanpa memperhatikan lagi suara hati Nuraninya. Mereka merasa hebat dan berhasil dalam kehidupannya kalau sudah memiliki itu semua. Itulah ego manusia yang dikendalikan nafsunya. Inilah yang mengakibatkan terjadinya banyak penyelewengan, penyimpangan, korupsi, penyalah gunaan kekuasaan dan lain sebagainya. Karena pada hakikatnya nafsu itu tidak akan pernah merasa puas. Nafsu menggiring manusia untuk selalu merengkuh dan meraih sesuatu yang bukan menjadi miliknya. Sifat pengejaran nafsu tak terkendali inilah yang kebanyakan MENYENGSARAKAN dan MEMENJARAKAN manusia.
Ego pribadi dalam tataran yang wajar sebenarnya akan menampilkan dirinya dalam bentuk harga diri “self-esteem” dan memiliki kepercayaan diri ” self-confidence’. Keduanya merupakan faktor positif dalam meningkatkan kualitas pribadi setiap individu menjadi lebih tinggi. Namun, kalau keduanya berlebihan dalam diri kita, itu akan berubah menjadi kebanggaan “pride” yang sangat dekat dengan kesombongan. Batas antara kebanggan dan kesombongan ini sangatlah tipis sekali. Ketika berubah menjadi kesombongan, maka akan melahirkan ego pribadi yang merugikan diri kita sendiri. Akan melahirkan nafsu dunia yang dapat menyesatkan. Disinilah kita perlu hati-hati dalam menyikapi ego dan nafsu sang diri.
Kesalahan dalam mengelola hati nurani seringkali mengakibatkan manusia terjebak dalam kehidupan dengan hati yang buta dan mati.
Sungguh sengsara mereka yang hidupnya tanpa diterangi cahaya hati nurani ini. Bagaikan orang yang buta mata indranya, sehingga tidak dapat melihat apa yang ada di depannya. Memiliki hati nurani yang buta tertutup oleh ego pribadi, berarti mereka yang tidak dapat melihat arah kehidupannya kedepan dengan jernih dan tajam. Mereka menjalani kehidupan dengan dikendalikan nafsu dan ego pribadinya kepada dunia yang berlebihan.
Mereka yang nuraninya tertutup, hidupnya menjadi penuh prasangka negatif yang terkadang malah bisa mendorong kita untuk berbuat diluar kendali. Dan, biasanya menjurus kepada perbuatan atau tindakan yang bisa merugikan orang lain. Hati nurani yang dikalahkan oleh nafsu dan ego pribadi mengendalikan pikiran seseorang menjadi buta. Hari-harinya menjadi tidak nyaman, pikirannya menjadi keruh, penuh dengan prasangka negatif. Waktu demi waktu yang dilalui sering kali diwarnai kondisi kegelisahan hati. Hati dan pikirannya sangat dikendalikan oleh nafsu duniawi, sehingga hidup menjadi sangat melelahkan. Mengejar sesuatu yang seolah-olah tidak ada hentinya, tidak ada habisnya dan merasa serba kekurangan.
Poro Sanak Kadang, marilah kita bertanya kembali kedalam diri pribadi masing-masing, apakah selama ini tanpa sadar atau dengan kesadaran kita telah dikendalikan oleh nafsu dan ego pribadi untuk kepentingan dunia semata ? Apakah selama ini sadar atau tanpa kita sadari kita telah terjebak dalam rutinitas kehidupan yang membutakan hati nurani ? Apakah selama ini kita sudah mendengarkan suara hati kita, ataukah kita cenderung mengabaikan suara hati demi meraih tujuan kehidupan dunia ?
Bagaimana agar diri kita dapat menghidupkan hati nurani sehingga mampu mengendalikan nafsu dan ego pribadi ?. Adakah poro Sanak kadang yang sudah dapat menghidupkan NURANI nya…??. Silahkan berbagi dengan yang lain di sini. Yang penting TANPA saling MENYALAHKAN dan MENYESATKAN apalagi MENGKAFIRKAN…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar