“Ya Allah Aku Jatuh Cinta” (Sinopsis)
Sebuah Respon Terhadap Kesalahan Mengelola Cinta
Banyak peristiwa yang telah hadir di depan mata kita menunjukkan bahwa telah terjadi banyak persoalan yang terjadi karena cinta pada lawan jenis. Beberapa faktor penyebabnya akan saya sebutkan dalam bab ini:
Terlalu Belia Mengenal Cinta
Zaman yang luar biasa ini nampaknya mempercepat proses remaja mengenal cinta. Di usia mereka yang sangat belia, mereka sudah mulai merasakan ada perasaan lain dalam dirinya terhadap temannya yang berbeda jenis kelamin dengan dia. Fenomena yang terjadi menunjukkan, usia mereka yang belia tidak mampu menandingi kedahsyatan cinta. Mereka belumlah cukup umur untuk mengelola cinta yang mereka miliki. Akhirnya yang terjadi adalah cerita pilu tentang pacaran yang salah jalan dan salah arah.
Tidak Bisa Membedakan; Simpati, Naksir dan Cinta Sejati
Saat tertarik kepada seorang teman di usia belia, umumnya remaja tidak bisa membedakan, antar ketiga hal itu. Mereka dilandan kebingungan “Apakah saya sedang jatuh cinta beneran, atau hanya sekedar naksir dan simpati saja?” Lelaki dan perempuan memiliki tingkat ketertarikan yang berbeda. Lelaki biasanya tertarik pada aspek penampilan, seberapa tinggi kejelian matanya menilai seorang gadis. Sehingga bila ia tidak dibimbing hidayah, mungkin setiap kali ada perempuan cantik, ia akan selalu bilang “Kamu adalah cinta sejatiku.”
Tidak Bisa Mengukur Kadarnya
Sebagian besar para remaja merasa seperti berada di istana langit bila sudah jatuh cinta. Sepertinya hatinya ingin meledak karena bahagia. Bila tidak diwaspadai mereka akan dibutakan oleh cinta. Besarnya cinta yang mereka rasakan menghilangkan akal sehatnya. Pikirannya kacau, dan hatinya selalu gelisah. Mereka tidak bisa lagi membedakan apakah sebuah tindakan disebut konyol ataukah tidak hanya demi menyenangkan hati kekasihnya. Mereka juga tidak bisa lagi mengukur apakah tindakannya sudah masuk kategori berlebihan ataukah tidak. Maka tidaklah mengherankan bila seorang perempuan yang merelakan kegadisannya pada kekasihnya atas nama cinta.
Terlalu Naif dan Polos
Wajah imut para remaja belia ini seolah mencerminkan betapa lugu dan polosnya mereka. Cinta yang mereka rasakan seolah adalah cinta sepenuh hati dan sepenuh cinta yang akan mereka rasakan selamanya. Padahal boleh jadi teman yang menjadi kekasihnya hanya iseng belaka. Kekasihnya ternyata sama sekali tidak menganggap itu sebuah hubungan cinta, hanya main-main dan pengisi waktu luang saja. Seolah sekali dia mengenal cinta, maka itu adalah hati yang paling tepat untuk berlabuh. Padahal usianya baru usia anak SMP.
Lebih Didorong Nafsu, Bukan Cinta
Hubungan cinta di usia muda seperti orang yang haus bertemu dengan segelas air yang segar dan menyegarkan. Di saat remaja belia sedang mulai merintis libido, datanglah orang yang dicintai. Kontan saja hal ini bak orang yang sedang haus kemudian datang segelas air segar kepadanya. Sehingga tidaklah berlebihan bila disimpulkan ketertarikan antar lawan jenis saat itu lebih didasarkan pada aspek emosi sesaat dan bukan karena cinta.
Olah karena itu seorang remaja harus dikenalkan kepada siapa ia seharusnya menempatkan cintanya yang paling utama. Merujuk kepada keterangan Ibnu Qayyim, tingkatan cinta seorang muslim diatur sebagai berikut:
Menurut Ibnul Qayyim, seorang ulama di abad ke-7, terdapat enam peringkat cinta (maratibul-mahabah), yaitu:
Peringkat ke-1 dan yang paling tinggi adalah tatayyum, yang merupakan hak Allah semata.
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ(165)
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal). (Al Baqarah: 165)
Allah lah yang paling utama, tak ada tandingan tak ada bandingan. Allah yang pertama dan selalu akan menjadi yang pertama. Posisinya tidak boleh digeser menjadi nomer dua atau bahkan tiga. Cinta kita kepadaNya harus menjadi puncak dari segala cinta yang kita miliki.
2. Peringkat ke-2; ‘isyk yang hanya merupakan hak Rasulullah saw. Cinta yang melahirkan sikap hormat, patuh, ingin selalu membelanya, ingin mengikutinya, mencontohnya, dll, namun bukan untuk menghambakan diri kepadanya. Kita mencintai Rasulullah dengan segenap konsekwensinya. Kita akan dengan bangga menjalankan sunnah-sunnahnya dan mengikuti petunjuknya dalam mengamalkan agama ini. Kita juga akan mencintai kehidupannya yang luhur dan penuh amal shalih. Kita rindu berjumpa dengannya karena kemulian yang ada pada diri beliau. Namun kecintaan kita bukanlah menuntut sebuah penghambaan.
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ(31)
“Katakanlah jika kalian cinta kepada Allah, maka ikutilah aku (Nabi saw) maka Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali Imran: 31)
3. Peringkat ke-3; syauq yaitu cinta antara mukmin dengan mukmin lainnya. Antara suami istri, antara orang tua dan anak, yang membuahkan rasa mawaddah wa rahmah. Seorang suami harus mencintai istrinya dengan sepenuh hati. Demikian pula si istri harus memberi cintanya kepada suaminya. Cinta yang tumbuh pada diri mereka akan menambah ketentraman hati dan ketenangan jiwa. Hidup akan menjadi lengkap, karena saling mengerti dan memahami. Manakala terjadi konflik atau perbedaan pendapat, akan mudah diselesaikan karena aspek cinta mereka yang begitu besar.
4. Peringkat ke-4; shababah yaitu cinta sesama muslim yang melahirkan ukhuwah Islamiyah. Cinta ini menuntut sebuah kesabaran untuk menerima perbedaan dan melihatnya sebagai sebuah hikmah yang berharga. Seperti kita ketahui bahwa saat ini sedikit perbedaan saja seringkali menimbulkan perpecahan. Berbeda takbiratul ihram, berbeda gerakan shalat, berbeda hari Idul Adha atau Idul Fitri kadang tidak disikapi secara dewasa. Sehingga masalah pun muncul dan membuat jurang pemisah yang teramat dalam antar pengikutnya.
5. Peringkat ke-5; ‘ithf (simpati) yang ditujukan kepada sesama manusia. Rasa simpati ini melahirkan kecenderungan untuk menyelamatkan manusia, termasuk pula di dalamnya adalah berdakwah. Rasa ini seringkali muncul bila sisi kemanusiaan kita tersentuh.
6. Peringkat ke-6 adalah cinta yang paling rendah dan sederhana, yaitu
cinta atau keinginan kepada selain manusia: harta benda. Namun keinginan ini sebatas intifa’ (pendayagunaan/pemanfaatan). Cinta jenis ini pula yang seringkali menggelincirkan manusia. Karena sifat harta memang selalu melenakan. Namun bila kita cerdas, banyaknya harta benda seharusnya tidak menjadikan kita terlena. Sebaliknya, ia hanya menjadi sarana untuk meraih cinta yang sebenarnya yaitu cinta pada Allah Ta’ala.
Lalu Bagaimana Islam Memandangnya?
Islam memandang cinta sebagai sesuatu yang biasa dan sederhana. Islam adalah agama fitrah, sedang cinta itu sendiri adalah fitrah kemanusiaan. Allah telah menanamkan perasaan cinta yang tumbuh di hati manusia. Islam tidak pula melarang seseorang untuk dicintai dan mencintai, bahkan Rasulullah menganjurkan agar cinta tersebut diutarakan.
“Apabila seseorang mencintai saudaranya maka hendaklah ia memberitahu bahwa ia mencintainya.” (HR Abu Daud dan At-Tirmidzy).
Seorang muslim dan muslimah tidak dilarang untuk saling mencintai. Mereka juga tidak dilarang untuk jatuh cinta. Hanya saja, Islam menyediakan penyaluran untuk itu melalui lembaga pernikahan. Di mana sepasang manusia diberikan kebebasan untuk bercinta.
Wallahu'alam bishowab..
Diposting oleh
Vandi Al-faqir
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar